Review Film: The Eyes Diary(2014)




Apa sih yang membuat film horor Thailand selalu stand-out dari film-film horor lainnya? Kebanyakan orang menjawab ‘rasa’. Pembuat film horor di sana selalu menyelipkan drama yang menyentuh dibalik jeritan-jeritan ketakutan sepanjang film, yang membuat perasaan penonton bercampur aduk antara ketakutan dan kesedihan. Saya pun setuju dengan hal itu. Dan saya ingin menambahkan kecenderungan yang ada belakangan ini, bahwa horor Thailand pun menambahkan pula humor menggelitik setelah bagian film yang mencekam, seakan-akan memberi nafas bagi penonton untuk rehat sebelum ke adegan selanjutnya yang lebih mencekam. Dari apa yang saya simpulkan dari film-film seperti 3AM dan 4BIA, kecenderungan tersebut memang ada. Lalu apa hubungannya dengan film yang akan saya review ini?

Sudah genap 3 bulan semenjak Nott(Punjan) kehilangan pacarnya, Pla(Focus Jirakul) yang tewas akibat kecelakaan motor. Nott merasa amat sangat bersalah dan terbebani akibat kecelakaan itu, dan dia berusaha dengan segala cara untuk menemui Pla dengan tujuan meminta maaf atas segala kesalahannya.  Nott pun beralih profesi menjadi tukang urus mayat, dan diam-diam dia mengoleksi barang peninggalan mayat-mayat tersebut dengan harapan agar mata batinnya terbuka dan dia bisa melihat Pla.




Dengan formula dasar seram, sedih, dan kocak, Matthew Chukiat Sakweerakul mampu menyulap The Eyes Diary menjadi film yang menyenangkan, tentu saja dengan tidak meninggalkan predikat film horor yang disandang. Yup, ketiga unsur tersebut mampu diracik dengan pas sehingga penonton pun peduli dengan cerita yang ditawarkan film ini. Drama romansa antara Nott dan Pla mengalir lancar diantara adegan-adegan yang mencekam khas horror Thailand. Di film ini, unsur seram tidak perlu dipertanyakan lagi. Timing penampakan, scoring yang mantap, dan pembangun suasana ala Hollywood menjadi andalan. Pun dengan wujud hantu-hantunya yang khas film horor Indonesia.  Di saat-saat tertentu, unsur kocak pun ditambahkan, yang berpusat pada tokoh banci di sebuah geng tempat Nott bergaul, yang anehnya jika saya teliti, kenapa tokoh banci harus selalu ada di setiap geng-geng sekolah atau semacamnya? Lucu memang. Soal sinematografi pun, pada umumnya film Thailand, mampu dikelola dengan baik.

Namun, seperti halnya wanita cantik, yang terkadang ada ‘goresannya’, The Eyes Diary pun memiliki hal serupa. Dari awal sampai pertengahan, film ini begitu mencekam parah, bahkan membuat saya berpikir untuk meninggalkan bioskop sebelum kelar saking tidak kuatnya. Di satu bagian rumah dimana ada penampakan paling menyeramkan di film ini, bahkan diulang sampai tiga kali, dengan orang yang berbeda-beda dan timing penampakan yang berbeda pula, hingga membuat saya stress. Hingga di pertengahan film, saya sempat berpikir ini merupakan film horor Thailand paling memorable yang pernah saya tonton. Namun, penilaian itu terburu-buru. Dari pertengahan menuju ke ending, porsi drama yang diberikan terlalu banyak. Penonton terpaksa untuk peduli pada cerita, padahal kiranya jauh lebih baik jika adegan-adegan mencekam itu ditampilkan secara konstan. Porsi drama yang kebanyakan membuat penonton diberi istirahat terlalu lama(tentu saja diluar komedinya), sehingga saat adegan-adegan mencekam itu dimunculkan lagi, kadar seramnya menurun tajam. Filmnya memang sedih, hanya saja timing untuk memunculkannya kurang tepat. Sehingga, ya begitulah adanya. Membuat saya gagal untuk memberikan nilai sempurna bagi film ini. But it’s highly recommended!


0 komentar:

Post a Comment