Ruang Tunggu




Pukul sebelas lewat sepuluh malam. Di sekitaran waktu itu ada yang sudah memejamkan mata, melepas lelah berkegiatan selama seharian. Lalu ada juga yang bercengkerama dengan orang-orang yang paling berarti dalam kehidupannya. Beberapa yang lain masih asyik bersenda gurau dengan rekan-rekan sejawat di kafe favorit masyarakat urban, atau di warung kopi sederhana di sudut terkumuh kota. Atau ada pula yang baru berangkat ke lokalisasi di lorong-lorong sempit pemukiman kota, menjemput rezeki di tengah nyanyian sumbang dan caci-maki budaya patriarki.

Di waktu yang sama, aku tercekat menatap kosong ke langit-langit reyot di kamar sempit ini dengan beribu topik lalu lalang tanpa permisi di kepala. Tentang friksi dengan rekan panitia sore tadi, tentang artikel untuk pers kampus yang gagal naik, lalu kecerobohan demi kecerobohan yang acapkali terjadi di luar kuasa diri. Ketidakberdayaan untuk berdamai dengan diri sendiri selalu mengalahkan rasa syukur yang sebenarnya lebih mudah dicari di mana saja.

Ruang Sepi

Tidak sadar sudah genap satu jam pikiranku bertingkah demikian. Mata sudah terkantuk bukan main, namun pikiran-pikiran di kepala ini enggan untuk beranjak. Hal-hal ini kerap kali terjadi tanpa sanggup akal manusia biasa untuk mencegahnya. Ada saat dimana batin begitu tersiksa oleh segala kekacauan di dalam kepala ini. Mungkin jika ada sepucuk pistol tergeletak di sampingku saat itu juga aku akan meledakkan kepala ini. Bukan, bukan. Tak pernah terbesit sedikitpun niat untuk mengakhiri hidup sebagai pengecut. Aku hanya ingin menyingkirkan rasa sakit yang tak henti-hentinya menindih kepalaku selama ini.


Kamar yang kutempati ini tidaklah luas, standar 3 x 4 ala mahasiswa pada umumnya. Selama tiga tahun berkuliah kamar ini menjadi ruang sepi terfavorit di kala timbul penat akan segala macam tetek bengek kehidupan di luar kamar. Di hari kerja biasa, kamarku ini selalu ditinggalkan dalam keadaan berantakan, seperti keadaan negara akhir-akhir ini. Namun ketika malam menjelang, aku merindukan kasur di kamarku ini sebagaimana halnya aku merindukan liburan akhir semester.

Sekian lama terjaga, aku akhirnya memaksa diri untuk bangkit dari kasur. Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Sudah genap tiga jam mataku gagal terpejam akibat pergulatan ini. Aku mencoba meraih ponsel genggam yang tersimpan rapi di atas meja. Lalu aku periksa kalender, dan tak terasa kurang lebih sebulan lagi ujian semester ini akan berakhir. Itu artinya aku akan pulang kampung bulan depan, yang mana merupakan satu-satunya hal yang melegakan raga ini di tengah riuh masalah yang tak henti merempuh.

      .    .    .    .

Katanya, pergilah sejauh mungkin namun jangan lupa untuk sesekali pulang. Pulang adalah cara untuk tetap menjadi manusia. Itulah sebaris kata yang kuingat dari orangtua, sebagai bekal paling berharga yang mereka berikan sebelum aku berangkat merantau ke Bintaro. Seiring dengan bergulirnya waktu, hidup mulai banyak mengajarkan tentang berbagai hal yang manusia sebut “rumah”, sebagai tujuan akhir dari perjalanan pulang. Seberapa berat langkah kaki beranjak pergi, ruh ini akan selalu menemukan caranya untuk pulang. Entah itu berupa kampung halaman, tempat paling berkesan, atau seseorang. Ah, sudahlah. Mungkin aku terlalu banyak berpikir. Tidak ada satupun yang bersedia menjadi tempat tinggalku. Semuanya singgah dan berlalu begitu cepat. Namun setidaknya rumah orangtua menjadi satu-satunya opsi obat penawar untuk saat-saat kondisi seperti ini.

Seminggu terasa begitu lambat. Pikiran-pikiran negatif tetap lalu lalang di kepala. Aku menggeletakkan diri di atas kasur setiap pukul sepuluh malam. Menghadapi rutinitas perkuliahan dijalani, menghadapi banyak orang di persimpangan jalan, belum juga pelajaran akuntansi yang sulit dicerna, dan sebagainya. Namun menakjubkannya, aku bisa bertahan selama ini. Menjadi seorang mahasiswa perantauan tanpa persiapan yang memadai memang melelahkan dan merusak batin. Aku berpikir, hidup sepertinya bakal lebih mudah jika kita tak berurusan dengan manusia lain. Jean Paul Sartre, seorang filsuf tersohor abad 20 pernah bilang di bukunya tentang eksistensialisme, neraka bagi manusia adalah eksistensi manusia lainnya. Itu adalah contoh ekstrim karena di dunia ini manusia hidup dengan konsekuensi. Berbagai konsekuensi itulah yang harus dihadapi sekeras mungkin sebagai makhluk hidup. Menjadi jiwa-jiwa yang keras dalam menantang hidup.

.    .    .    .
Ruang Tengah

Tak ada yang lebih melegakan dibanding makan malam di ruang tengah bersama keluarga, lengkap. Sesuatu yang jarang aku rasakan semenjak memutuskan untuk melanglang buana setahun yang lalu. Waktu berlalu begitu cepat, hingga aku bisa lebih menghargai saat-saat bersama keluarga di ruang tengah seperti sediakala. Menikmati hidangan yang disajikan Ibu tiap selepas menunaikan ibadah maghrib, adalah rutinitas yang paling bisa dirasakan kehangatannya. Jauh dari ingar bingar teriknya siang. Ruang tengah adalah sebaik-baiknya tempat kembali, menyepi sejenak dari hiruk pikuk kehidupan.



Hari demi hari menjelang. Hingga pada saat-saat paling sulit dalam tiga tahun kuliah yaitu Ujian Akhir Semester akhirnya berlalu juga. Tak terhingga betapa banyak beban yang kupikul di hari-hari itu. Namun pada akhirnya, semuanya akan terlewat begitu saja.

Hari itu, aku memutuskan untuk pulang ke kampung halaman. Aku mulai mengemas semua perlengkapan untuk pulang nanti. Lalu kulihat kembali jam dinding yang menggantung di sudut kamar. Pukul sebelas lewat sepuluh. Aku tersenyum. ‘Akhirnya tiba juga’, gumamku pelan. Lalu aku kembali bergegas, mengumpulkan barang sekaligus serpihan memori yang berserak di kamar ini, sambil memastikan tidak ada yang tertinggal.

Ruang Tunggu

Beberapa jam kemudian aku sampai juga di bandara. Setelah lapor dan mendapat tiket, aku melangkahkan diri ke ruang tunggu bandara. Ruang tunggu bandara adalah tempat di mana orang-orang hilir mudik mencari titik terbaik untuk menunggu keberangkatan sambil merenung. Ada yang sembari membaca buku dengan kabel headphone tertanam di kedua telinga, ada yang mengobrol dengan teman sebelahnya, ada juga yang asyik meminum kopi sambil menikmati hidangan tayangan televisi di depannya, semuanya menikmati waktunya masing-masing sembari  bayangan akan kemungkinan menghadapi penerbangan terakhirnya sekelebat muncul entah dari mana.

        .    .    .    .

Di ruang tunggu aku duduk menyepi di tengah riuh orang lalu lalang menanti keberangkatan. Beberapa saat kemudian datang seorang ibu paruh baya dengan membawa tas yang banyak di kedua tangan dan punggungnya. Melihat tingkahnya yang agak kebingungan mencari tempat duduk, aku memberi isyarat kepada dia untuk duduk di sebelahku. Aku menawarkan diri untuk mengambil satu tas dari pangkuan dia lalu aku menaruhnya di bangku satunya lagi. Ibu itu berterimakasih lalu menyodorkan roti yang sedang digenggamnya. Aku menolak dengan sopan, sembari bertanya “Ibu mau pulang kampung juga?”. Ibu itu mengangguk lalu bertanya balik sembari memperhatikan penampilanku yang tipikal, “Masnya dari kampus **** ya? Anak saya juga kuliah di sana juga dulu, tapi dia tidak lulus semester kemarin. Sekarang dia lagi persiapan buat coba SBMPTN lagi tahun depan”. Aku cukup terkejut mendengarnya namun mencoba untuk tetap santai sambil menanggapi dengan cara yang paling diplomatis, “Semoga anak Ibu mendapat rezeki yang lebih baik kedepannya ya Bu.” Ibu itu tersenyum, lalu dia merogoh kantung tasnya untuk mengambil telepon genggamnya. Dia kemudian mengabari orang yang ada di telepon bahwa sebentar lagi pesawatnya akan berangkat. Dia berbicara kepada orang itu seakan-akan mereka tak akan bertemu lagi setelah penerbangan ini.

 Beberapa saat kemudian panggilan naik pesawat berkumandang. Aku bergegas mengambil semua barangku lalu turun tangga ke landasan. Deru mesin pesawat yang sedang dipanaskan terdengar pekak di kejauhan. Aku menengok arlojiku di lengan kiri. Pukul sebelas lewat sepuluh siang. Aku tersenyum simpul lalu menatap bayanganku sendiri di lensa arlojiku. Ada kerut pilu yang perlahan berpudar di sana. Dengan koper di tangan kanan, aku pulang ke kampung halaman tanpa menengok ke belakang lagi. Sembari berharap semuanya akan dan tetap baik-baik saja pada akhirnya.

0 komentar:

Post a Comment