Cerpen : Mata

Kata orang, kalau sedang berbicara dengan orang lain, kita harus tatap matanya. Begitu pun ketika kita mendengarkan.

Kata mereka pula, perempuan itu suka pada lelaki yang perhatian dan selalu memperhatikan saat lawan jenisnya sedang berkeluh kesah, dan lainnya.

Tapi, aku tak percaya. Maaf, ulang lagi. Aku tak yakin aku bisa melakukan itu. Ada waktunya ketika aku sedang tak tertarik pada materi pembicaraan, ada pula saatnya ketika aku deg-degan karena lawan bicara yang aku hadapi adalah wanita idamanku.

Terkadang, dua tatapan mata yang bertemu itu adalah siksaan batin bagiku, sehingga aku buru-buru memalingkan wajah, dan berharap matanya tak perlu lagi mendaratkan tatapannya di mataku. Sungguh ironi memang, seorang pria yang memiliki masalah pada matanya.

Beruntung, orang yang punya sorot mata yang tajam. Mata yang bisa berbicara. Mata yang punya kharisma, bahkan jauh lebih mempengaruhi, dibanding gaya berbicara orang itu sendiri.

Aku sendiri? Aku merasa inferior dengan karakter mataku yang sayu, terkadang kosong, dan selalu terlihat mengantuk. Apa yang bisa dibanggakan dari itu semua?  mengejapkan mata sepertinya terlihat lebih baik dibanding membuka mata.

Jika si dia melihatku dengan tatapannya yang setajam burung elang, dan seindah lekuk tubuhnya itu, apakah aku sanggup untuk menandinginya dengan mataku yang lemah gemulai ini?

Suatu kali, aku sempat berpapasan dengannya. Dia sedang jogging memakai pakaian sport yang ketat, masih dengan matanya yang bikin aku jatuh cinta itu. Dia memakai earphone dan juga kacamata sporty yang agak melorot ke hidungnya. Aku, yang sedang memakai kacamata hitam, dengan percaya diri langsung bilang, “Hai!”. Tapi mengejutkan ketika dia melepas kacamatanya dan hanya melirikku sebentar, lalu berkata, “Hai juga. Cuacanya bagus yah.”, lalu dia pun menurunkan kembali kacamatanya. Aku mencoba melirik tajam ke matanya, tapi hasilnya nihil. Dia tidak mempedulikannya. Kata orang, itu merupakan ekspresi ketidaktertarikan dari perempuan kepada lelaki  di hadapannya.

Aku pun segera berlalu dengan kecewa berat. Aku bergegas menuju cermin di kamarku dan menelaah kekurangan mataku. “Hmm..keren juga”, pikirku saat kacamataku masih melekat di wajahku. Tapi, apa yang salah dengan ini? Dia ternyata tidak tertarik dengan setelan baruku ini. Dia pernah bilang, “Tatapan mata adalah ekspresi jiwa yang sesungguhnya.”. Lalu, apa kata dunia, jika mataku masih begini-begini saja? Masih sayu dan mengantuk? Di pikiranku, laki-laki yang sangar dan macho haruslah yang bermata keren dan tatapan tajam.

Karena frustasi, akhirnya aku mengabaikan saja pikiran-pikiran kotor di kepalaku. Aku ingin bersikap apa adanya. Tak peduli dengan tatapan mataku yang payah ini. Tak peduli dengan mata orang-orang itu, yang jauh lebih indah, lebih dalam, dan lebih kejam dibanding mataku.

Di tengah jalan, kembali lagi aku bertemu dengan dia. Kali ini dengan setelan jas khas pegawai kantoran. Kini dia terlihat lebih seksi dengan rambut yang tergerai indah dan kacamata frame hitam. Dia berjalan bersama seorang laki-laki, mungkin temannya. Namun, kali ini dia menyapa duluan, “Hai, teman! Kamu terlihat berbeda dari biasanya!”. Aku pun menjawab dengan santai, “Yeah…ummm biasa saja sih. Kamu juga terlihat lebih fresh hari ini. Btw, cuaca hari ini bagus yah….”

Lalu dia pun menepuk pundakku, dan berkata, “Yakinlah pada diri sendiri, kawan. Aku justru suka dengan mata kamu yang mencerminkan bahwa kamu orangnya sopan, patuh, dan tidak nakal. Tidak seperti kebanyakan cowok yang kukencani, mereka itu cowok-cowok murahan yang hanya ingin memanfaatkan tubuhku ini.” Dia menghela nafas sebentar, lalu melanjutkan, “Tidak. Semua orang disini punya tatapan mata yang tajam. Mereka punya mata yang menghipnotis. Mereka adalah orang-orang kharismatik.Sama semua. Tapi, that’s my point. Buat apa hidup kalau tidak ada perbedaan?” Lalu dia melanjutkannya dengan berbisik di kupingku, “Aku suka gaya kamu.”

 Lalu aku mencoba menatap matanya dalam-dalam. Dan, dia pun membalasnya dengan tatapan yang sama sambil tersenyum. "Hmmm...benar juga kata dia.", hatiku berkata.

"Kita duluan ya!" Dia tiba-tiba bilang pamit. Dia pun memberi isyarat kepada teman laki-lakinya yang daritadi memperhatikan kita berdua.

"Oh, ya udah. Hati-hati ya!".  Aku meresponsnya.

"Sori, ya. Kamu bukan yang pertama." Dia pun berlalu, bersama temannya yang ternyata adalah suaminya.

Aku hanya bisa tersenyum kecut, ketika dia melambaikan tangan ke arahku. Mataku menitikkan air mata.

Air mata buah dari kelemahgemulaian mataku.




0 komentar:

Post a Comment