Review Album: Sinestesia by Efek Rumah Kaca(2015)




This is for Adrian. For his struggle through his disease for some years until now.

Pernyataan Efek Rumah Kaca di berbagai media ini mengiringi lahirnya Sinestesia yang rilis 17 Desember lalu, yang sama sekali tak diduga, karena memang tidak diumumkan sebelumnya. Dan Sinestesia merupakan yang pertama setelah absen selama tujuh tahun. Dengan jeda selama itu, kita bisa lihat pergeseran ‘tahta’ yang mulai terjadi dari band-band indie angkatan senior ke angkatan baru seperti Payung Teduh, Barasuara, dll. Walaupun begitu, lagu-lagu lama Efek Rumah Kaca tetap abadi terekam dalam ingatan penggemar setianya karena keunikan lagu dan semangat yang selalu terpatri dalam setiap lagunya. Dan doa para penggemar yang sudah digantungkan sekian lama itu akhirnya terkabulkan di pertengahan Desember ini. Sinestesia lahir dengan memikul harapan-harapan mulia dari penggemar musik indie tanah air akan kembalinya musik yang membawa semangat kritis dan protes terhadap segala hal yang tak berjalan dengan semestinya di tanah air tercinta ini.


Album Sinestesia ini mengambil formula yang berbeda jauh dari dua album pertama ERK. Di Sinestesia hanya terdapat enam lagu dengan berdurasi rata-rata 9 menitan setiap lagunya. Bukan, ini bukan Dream Theater kok. Mereka adalah Efek Rumah Kaca yang baru, yang bernuansa sama tapi dengan formula berbeda. Musik ERK banyak terpengaruh oleh Pandai Besi di album Daur Baur, yang uniknya adalah proyek aransemen ulang lagu-lagu ERK dari dua album sebelumnya. Jadi bisa dibilang, ERK menyerap banyak pengaruh dari band ‘anak kandungnya’ sendiri. Sebagian besar lagu di Sinestesia memang terdapat vocal falsetto khas dari ketiga vokalis perempuan Pandai Besi, yaitu Monica Hapsari, Natasha Abigail, dan Irma Hudayana.  Selain itu, lagu-lagu dalam Sinestesia ini juga bertempo beragam, mulai dari yang lambat dan ‘memilukan’ seperti Putih, hingga yang cukup cepat dan bertenaga seperti Hijau. Oiya, hanya terdapat enam lagu dalam album ini. Semua lagu berjudul warna. Itu semua memang didedikasikan untuk Adrian dengan penyakit matanya yang seakan-akan melihat fragmen-fragmen warna dalam penglihatannya. Disamping itu, walaupun rata-rata durasi lagu disini mencapai 9 menitan, tapi sebenarnya setiap lagu terdiri dari dua elemen lagu yang disatukan. Seperti di single pertama ‘Biru’ yang terdiri dari ‘Pasar Bisa Diciptakan’ dan Cipta Bisa Dipasarkan’ atau ‘Ada’ dan ‘Tiada’ di nomor ‘Putih’.




Lirik yang terdapat di Sinestesia tidak sefrontal dan sevokal yang ada di dua album sebelumnya. Yang  bisa dibilang masih mempertahankan formula kritis ala ERK yaitu lagu ‘Biru’ dan ‘Jingga’ yang terdiri dari lagu ‘Hilang’ yang sebenarnya merupakan single lama ERK tahun 2011 lalu. Kini ERK lebih banyak mengolah lirik tentang serba serbi kehidupan, seperti di nomor ‘Putih’ yang dialunkan dengan begitu indah sekaligus ngeri dan bikin bulu kuduk merinding, yang bercerita tentang dua fragmen terpenting dalam kehidupan, yaitu kematian dan kelahiran. Lagu ini juga didedikasikan untuk sahabat Cholil bernama Adi Amir Zainun, yang belum lama meninggal serta anak Cholil yang baru lahir ke dunia.

Yang pasti, album Sinestesia ini merupakan album eksplorasi ERK yang menakjubkan. ERK memberikan warna baru yang artistik dan sekaligus tidak meninggalkan formula awal mereka yang kritis, puitis, dan melodis. Sulit untuk disangkal bahwa Sinestesia merupakan kandidat album Indonesia terbaik 2015, disamping Taifun-nya Barasuara, tentunya. Jika ditanya manakah track favorit saya di album ini? Pilihan saya akan jatuh pada ‘Putih’. Lagu yang mengingatkan kita akan kematian yang bisa datang kapan saja. Semoga saja, kreativitas ERK tak akan pernah pudar dan tetap konsisten untuk bisa menghasilkan karya yang menginspirasi banyak orang seperti album ini.

2 comments:

  1. Itu yang 'putih' asli serem bangeet. kalo waktu nya gak pas, lagu itu kesetel langsung gua skip. anjirr serem.

    ReplyDelete