Senin, 17 Mei 2011., 4 bulan setelahnya
Hari ini hari pertama aku dan semua anak SMA sedunia-akhirat
melaksanakan ujian nasional. Mata pelajaran hari itu adalah Matematika,
pelajaran yang mudah dan paling mengasyikkan, menurutku. Otak ini pun rasanya seperti
hampir keluar dari hidung, saking encernya. Hasil dari tempaan ribuan soal yang
dikerjakan selama 1 tahun kebelakang.
Aku pun siap dengan sebilah pensil tajam
dan segenggam penghapus boxy unuk bertempur demi hidup matiku masuk SMA.
Di tengah perjalanan, aku kembali bertemu
Danny. Dia tampak seperti kebanyakan orang-orang pada umumnya, tatapan lurus ke
depan, seragam lengkap, dengan wajahseperti
korban radiasi dari ribuan partikel soal Matematik selama setahun ini .
Persis seperti semua orang, mungkin aku juga, mungkin juga si dia.
Setiap orang bersiap untuk menghadapi
nerakanya masing-masing. Neraka Matematika, yang jika sekali gagal melewatinya,
maka akan terjerumus selama-lamanya dalam jurang kehancuran hidup.
Hari kedua.
Hari ini hari kedua pelaksanaan UN. Sejauh
ini, semua pengerjaan berlangsung dengan lancar. Bisa berkonsentrasi penuh
dengan sekolah adalah hal yang selama ini aku idam-idamkan, tanpa pengaruh dari
berbagai orang di sekitarku, termasuk Danny
dan si dia. Yah, hanya keledai yang jatuh di lubang yang sama dua kali.
Omong-omong, aku belum bertemu si dia
sejauh ini, semenjak kemarin. Memang sih, kita tidak sekelas. Karena absen kita
yang terpaut jauh, kelas dia pun ada di ujung koridor. Ah, mungkin aja dia itu
tipe orang yang teng go, tipe orang yang pas ujian selesai langsung pulang.
Ah, lagian, biarlah dia juga sibuk dengan
urusannya sendiri. Toh, dunia ini masih tetap berputar, dan aku dan dia masih
berjalan, walau langkahnya tak sama.
Hari ketiga
Hari ini, UN mata
pelajaran bahasa Inggris. Is that really interesting? Yap, bahasa Inggris sekarang sudah menjadi
bahasa Indonesia. Jadi lebih rumit nan menyusahkan. Sejuta pertanyaan terlintas
di otak ini, kenapa bahasa harus dibikin susah? Benarkah, kalo bahasa itu
dipakai hanya untuk berkomunikasi dan menulis? Kenapa harus dibikin susah?
Sekali lagi ah, bahasa adalah alat pemersatu manusia di dunia, tapi kenapa harus menyulitkan?
Hari keempat
Sepulang ujian, aku dan
teman-teman seangkatan sudah merencanakan untuk mengadakan prom night, semacam
malam perpisahan gitu.
Sudah terbayangkan di
benakku, apa yang akan kulihat dan kurayakan di malam perpisahan nanti. Yah,
setidaknya, aku akan datang ke malam itu dengan membawa sepercik kebanggaan,
karena aku sudah diterima masuk universitas yang kuinginkan, mudah-mudahan.
Sudah terbayangkan pula, rokok,
alkohol, sabu-sabu, dan wanita murahan yang terhampar secara cuma-cuma di
hadapan mataku. Walau kuyakin, 100 % aku takkan menyentuhnya sedikitpun.
Hari terakhir
Rapat tadi sudah
memutuskan bahwa dalam acara promnight nanti, setiap pria dan wanita yang ikut
harus dipasangkan laiknya pengantin baru. Dalam semalam itu, mereka akan
merasakan bagaimana rasanya menjadi raja atau ratu dalam semalam. Ah, namanya
juga promnight, wajar lah.
Eh, tunggu dulu.
Wajar? Bagaimana buat pria-pria yang
seumur hidupnya belum pernah merasakan sentuhan wanita, kecuali ibunya sendiri?
Seperti, ehm..aku? Bagaimana pria-pria cupu ini bisa menggandeng tangan
pasangannya, yang ternyata adalah cowok, karena mereka kehabisan kuota cewek?
Karena, ehm lagi...nggak mau berpasangan dengan mereka?
Karena itulah, pasangan
akan ditentukan oleh, voting siswa/siswi sendiri. Jeng jeng jeng jeng!
0 komentar:
Post a Comment